EDITORIAL
BENCANA DI SUMATERA: KETIKA NEGARA GAGAL MENGAWAL HUTAN, RAKYAT YANG MENJADI KORBAN
Sabtu, 06 Desember 2025 - 10:53:35 WIB
Kabar Riau - Peristiwa
Gelombang banjir bandang dan tanah longsor yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar rangkaian musibah. Ini adalah potret kegagalan tata kelola negara, yang selama bertahun-tahun membiarkan hutan ditebang, bukit digali, dan sungai dipersempit tanpa pengawasan yang memadai.
Kerusakan ekologis di Sumatera bukan terjadi dalam semalam. Ia buah dari puluhan tahun kompromi, lemahnya kontrol, dan praktik pembiaran yang dilakukan oleh berbagai level pemerintahan. Di atas kertas, regulasi lingkungan terlihat tegas. Namun di lapangan, realitasnya berbeda jauh, izin diberikan tanpa evaluasi ketat, pengawasan lemah, dan aparat penegak hukum kerap kalah oleh jaringan kepentingan ekonomi yang menggurita.
DALAM SITUASI INI, PUBLIK BERTANYA:
Untuk siapa sesungguhnya negara bekerja, apakah untuk keselamatan rakyat atau untuk kepentingan segelintir elit ekonomi dan politik?
Rishki, pemerhati lingkungan, mengungkapkan bahwa era Presiden Prabowo Subianto seharusnya menjadi momentum koreksi besar-besaran. Namun ia mengingatkan bahwa persoalan utama justru berada di pemerintah daerah ketika lokasi di mana izin eksploitasi dikeluarkan, di mana pengawasan dilakukan, dan di mana potensi penyimpangan paling sering muncul.
Menurutnya, “Selama ruang perizinan dan pengawasan di daerah tidak dibersihkan, jangan berharap kerusakan berhenti. Di sanalah sumber masalah paling besar bersembunyi.”
Pernyataan ini tidak berlebihan. Data kerusakan hutan, lonjakan izin tambang, dan maraknya aktivitas eksploitasi yang melampaui daya dukung lingkungan menunjukkan bahwa daerah sering kali menjadi titik terlemah dalam rantai kebijakan. Bahkan saat bencana terjadi, respons pemerintah acap kali hanya bersifat seremonial, bantuan datang, kunjungan dilakukan, namun akar persoalan tetap tidak disentuh.
Karena itu, gagasan pembentukan lembaga pengawas lingkungan independen dengan kewenangan superbody menjadi keharusan, bukan sekadar wacana. Lembaga ini harus berdiri di luar pengaruh politik daerah, mampu mengaudit, memantau, dan menindak seluruh unsur pemerintahan, Eksekutif, Legislatif, hingga penegakan hukumnya tanpa intervensi dan tanpa kompromi.
Selama sistem pengawasan masih berada dalam lingkaran kepentingan lokal yang sama, lingkungan akan terus menjadi tumbal pembangunan semu, dan rakyat akan terus menjadi korban bencana yang seharusnya bisa dicegah.
BENCANA KALI INI ADALAH ALARM KERAS.
Jika negara masih ragu membersihkan akar masalah, maka ke depan bukan hanya hutan yang hilang, tetapi kepercayaan publik terhadap pemerintah juga akan runtuh pelan-pelan.
Saatnya pemerintah membuktikan bahwa keselamatan rakyat jauh lebih penting dibanding menjaga kenyamanan para pemilik kepentingan.
Komentar Anda :