EDITORIAL KHUSUS
Opini Publik
Siak Sri Indrapura
Setelah Editorial merilis opini publik berjudul “PT Bumi Siak Pusako dan Tanggung Jawab Institusional Negara”, gelombang respons publik membanjiri ruang-ruang digital: kolom komentar Facebook, media online, hingga grup-grup WhatsApp. Satu hal yang tak terbantahkan, reaksi itu bukan sekadar emosi sesaat, melainkan akumulasi kekecewaan yang telah lama dipendam.
Netizen menilai narasi tersebut ril, jujur, dan mencerminkan kondisi faktual yang terjadi di tubuh PT Bumi Siak Pusako (PT BSP) beserta jaringan vendor dan subkontraktornya. Dugaan paling kuat dan berulang adalah ketiadaan transparansi dalam perekrutan tenaga kerja, terutama pengisian posisi yang ditinggalkan pekerja pensiun. Proses rekrutmen dinilai tertutup, elitis, dan sarat titipan.
“Udah biasa dan udah jadi kebiasaan. Mau kerja senang, gaji besar, harus punya D3, Duit Dorongan, dan orang Dalam. Kalau rakyat kecil macam awak ni, tak punyo saudara di dewan atau pemerintahan, ya cuma jadi penonton. Tak heran lagi, ini ciri khas kepemerintahan Indonesia, ”tulis Nur, mewakili suara yang nyaris seragam di kolom komentar.
Komentar lain datang dari Ed, yang menyatakan dengan getir:
“Yang sejahtera itu keluarga dewan, pejabat Siak, dan petinggi PT BSP. Kami yang bukan kerabat, hancurlah harapan, bahkan untuk jadi kuli di PT BSP atau subkontraktornya.”
Lebih jauh, Ed mengungkap informasi yang memperkuat dugaan praktik nepotisme struktural. Ia menyebut bahwa penerimaan tenaga welder baru-baru ini didominasi oleh nama-nama dari Sungai Apit dan Dayun, yang disebut-sebut sebagai titipan oknum anggota DPRD Siak dan pihak-pihak berkuasa, baik di tingkat kabupaten maupun di lingkaran perusahaan PT BSP sendiri.
Tak berhenti di situ, In perwakilan salah satu organisasi kemasyarakatan di Riau menyatakan kesiapan untuk menggerakkan barisan aksi. “Kami siap atur barisan kapan saja bila diperlukan, untuk aksi demonstrasi di PT BSP dan perusahaan subkontraktornya, ”tegasnya.
Deretan komentar ini bukan kebetulan. Ini adalah alarm sosial. Publik telah jenuh melihat ketidakadilan sistemik: rekrutmen yang dikunci oleh koneksi, tender proyek yang berputar di lingkaran yang sama, serta manajemen yang seolah kebal dari evaluasi publik. PT BSP, yang seharusnya menjadi instrumen kesejahteraan daerah, justru dipersepsikan berubah menjadi menara gading segelintir elit.
Jika negara melalui pemegang saham, pemerintah daerah, dan aparat pengawas terus memilih diam, maka kemarahan publik hanya tinggal menunggu momentum. Reformasi total di tubuh PT BSP bukan lagi tuntutan idealis, melainkan kebutuhan mendesak. Transparansi rekrutmen, audit independen vendor dan subkontraktor, serta pembukaan akses kerja yang adil bagi masyarakat lokal adalah harga minimum untuk memulihkan kepercayaan.
Tanpa itu, PT BSP akan terus dicatat publik bukan sebagai kebanggaan daerah, melainkan sebagai simbol kegagalan negara menghadirkan keadilan ekonomi bagi rakyatnya sendiri.
( Rishki N Garawn )