SABAK AUH - SIAK
Kasus dugaan perampasan satu unit mobil milik warga bernama Marlis oleh pihak yang diduga debt collector perusahaan pembiayaan SMS Finance kini tidak lagi sekadar menjadi persoalan individu, melainkan indikasi pelanggaran hukum serius yang berlapis, mulai dari pidana umum, hukum perdata, hingga kepatuhan terhadap regulasi OJK dan etika penegakan hukum oleh aparat.
Peristiwa tersebut dilaporkan sebagai dugaan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagaimana Pasal 365 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang terjadi pada Selasa, 30 Januari 2024, sekitar pukul 16.00 WIB, di Jalan S.M. Amin, Simpang Baru, Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru, Riau.
Menurut keterangan korban, saat itu Marlis tengah mengemudikan Suzuki Carry tahun 2017 warna silver bernomor polisi BM 9857 FB, ketika tiba-tiba dipepet oleh Toyota Avanza yang ditumpangi empat orang pria tak dikenal.
Tanpa menunjukkan identitas resmi, surat tugas, akta fidusia, putusan pengadilan, maupun pendampingan aparat kepolisian, para pelaku disebut menguasai kendaraan korban secara paksa di jalan umum.

Secara hukum, tindakan tersebut berpotensi melanggar:
- Pasal 365 KUHP (pencurian dengan kekerasan),
- Pasal 368 KUHP (pemerasan),
- Pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman/kekerasan).
Korban langsung melaporkan peristiwa tersebut ke Polsek Tampan pada hari yang sama.
Namun, menurut kuasa pendamping korban, Dorlan Tua Hutagalung, laporan tersebut tidak menunjukkan perkembangan signifikan selama lebih dari tujuh bulan.
“Padahal unsur pidananya terang. Ada penguasaan paksa di ruang publik tanpa dasar hukum, ”ujar Dorlan.
Akibat mandeknya penanganan perkara, korban mengajukan pengaduan resmi ke Bagian Pengawasan Penyidikan (Wassidik) Polda Riau pada 7 Agustus 2024.
Dalam gelar pengaduan tanggal 19 Agustus 2024, yang dipimpin Kabag Wassidik Polda Riau dan dihadiri penyidik Polsek Tampan, Propam Polda Riau, pelapor, kuasa hukum, serta perwakilan SMS Finance, terungkap fakta krusial, pihak SMS Finance mengakui kendaraan korban tersebut telah dilelang.
Pengakuan ini memunculkan konsekuensi hukum serius, karena:
- Tidak ada putusan pengadilan
- Tidak ada penetapan sita
- Laporan pidana masih berjalan
Tindakan tersebut bertentangan langsung dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, yang menegaskan bahwa Kreditur dilarang menarik objek jaminan fidusia secara sepihak, kecuali; Debitur mengakui wanprestasi, dan Penyerahan dilakukan secara sukarela, atau Terdapat putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Dalam perkara ini, korban tidak pernah menyerahkan kendaraan secara sukarela, serta tidak ada putusan pengadilan.
Selain itu, tindakan debt collector juga berpotensi melanggar:
POJK Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, yang mewajibkan:
- Penagihan dilakukan tanpa kekerasan
- Menggunakan petugas bersertifikat
- Dilarang melakukan tindakan intimidatif atau penguasaan paksa
- Jika penagihan dilakukan oleh pihak yang tidak tersertifikasi atau tanpa prosedur, maka perusahaan pembiayaan tetap bertanggung jawab secara hukum.
- Sengketa Perdata Tak Menghapus Unsur Pidana
Dorlan menjelaskan, kliennya telah membayar angsuran hingga bulan ke-47, dengan total nilai pembayaran mencapai sekitar Rp129 juta.
“Kalaupun ada wanprestasi, hukum mengatur mekanismenya: gugatan perdata atau eksekusi lewat pengadilan. Bukan perampasan di jalan, ”tegasnya.
Secara hukum, sengketa perdata tidak menghapus pertanggungjawaban pidana, sebagaimana prinsip ultimum remedium dan yurisprudensi Mahkamah Agung.
Dalam gelar pengaduan, korban menilai arah pembahasan justru menyimpang, karena lebih menyoal sisa hasil lelang kendaraan, bukan legalitas perampasan.
Padahal, jika perampasan dinyatakan melawan hukum, maka seluruh proses lanjutan, termasuk lelang, halmini berpotensi batal demi hukum.
Korban kemudian mengadu ke Propam Polda Riau, dengan Surat Penerimaan Pengaduan Nomor: SPSP2/73/VIII/2024/Propam, serta menerima SP3D tertanggal 30 September 2024.
Puncaknya, pada 20 Oktober 2025, korban dan kuasa pendamping mendatangi Mabes Polri. Di sana, pelapor disebut dijanjikan:
- SP3D lanjutan
- Rekomendasi ke Polsek Tampan
- Langkah pemulihan kerugian korban
“Janji itu sampai hari ini belum terealisasi,” kata Dorlan, Selasa (23/12/2025).
Kasus ini dinilai sebagai ujian serius komitmen negara dalam melindungi warga dari praktik perampasan kendaraan yang berkedok penagihan utang.
Pelapor meminta Mabes Polri turun tangan langsung, mengingat adanya dugaan:
- Pelanggaran KUHP
- Pengabaian Putusan Mahkamah Konstitusi
- Pelanggaran POJK OJK
- Dugaan pembiaran atau kelalaian penegakan hukum
“Jika hukum masih berlaku sama bagi semua, maka kasus ini harus dibuka seterang-terangnya, ”tegas Dorlan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak SMS Finance, Polsek Tampan, dan Polda Riau belum memberikan keterangan resmi.
Redaksi membuka ruang hak jawab dan klarifikasi sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.*krN/Rishki N Garawn
Komentar Anda :