Ujian Nurani dan Efisiensi Negara
KETIKA RAKYAT TENGGELAM, PEJABAT TERBANG
Rabu, 24 Desember 2025 - 08:10:21 WIB
Kabar Riau - Life Style
 |
Negara Yang Kuat Bukan Hanya Negara Yang Tertib Administrasi, Tetapi Negara Yang Pejabatnya Mampu Menahan Diri Di Saat Rakyat Menderita
|
SHARE
EDITORIAL : Opini Publik
Penulis : R N Garawn, S.H
Judul :
Ketika Rakyat Tenggelam,
Pejabat Terbang :
Ujian Nurani dan Efisiensi Negara
ROKAN HILIR
Di saat ribuan warga di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat berjibaku menyelamatkan nyawa dari banjir bandang, negara sesungguhnya sedang diuji: siapa yang benar-benar merasakan penderitaan rakyat, dan siapa yang sekadar menjalankan rutinitas kekuasaan tanpa empati.
Di tengah duka nasional itu, publik dikejutkan oleh informasi perjalanan dinas sejumlah pejabat daerah Kabupaten Rokan Hilir ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Kepala Dinas Komunikasi, Informasi, Statistik dan Persandian (Kominfotiksan) bersama belasan staf melakukan perjalanan yang disebut sebagai “konsultasi Rencana Strategis (Renstra)”.
Persoalannya bukan semata soal administrasi perjalanan dinas. Persoalannya adalah kepekaan, urgensi, dan tanggung jawab moral terhadap situasi bangsa.
Ketika Presiden Republik Indonesia secara tegas menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara dan daerah memangkas perjalanan dinas dan studi banding hingga 50 persen, masihkah pantas pejabat beramai-ramai terbang ke luar daerah dengan dalih konsultasi yang sejatinya bisa dilakukan secara daring?
Lebih ironis lagi, perjalanan ini terjadi saat korban bencana membutuhkan perhatian penuh negara: bantuan logistik, percepatan pemulihan, dan solidaritas nyata. Dalam konteks ini, setiap rupiah anggaran memiliki makna kemanusiaan.
Transparansi menjadi soal serius. Hingga kini, besaran anggaran perjalanan dinas tersebut belum disampaikan secara terbuka kepada publik. Padahal, uang yang digunakan adalah uang rakyat, bukan fasilitas privat pejabat. Bungkamnya pejabat publik di tengah sorotan justru memperlebar jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap birokrasi.
Di sinilah persoalan struktural birokrasi Indonesia kembali terlihat:
efisiensi sering kali hanya menjadi jargon kebijakan, bukan etika kekuasaan.
Jika konsultasi Renstra memang penting, publik berhak tahu:
- Mengapa harus dilakukan ke Yogyakarta,
- Mengapa melibatkan belasan orang,
- Dan apa manfaat konkret yang dirasakan masyarakat dari perjalanan tersebut.
Tanpa jawaban transparan, wajar jika publik mencurigai bahwa praktik lama birokrasi, perjalanan dinas sebagai fasilitas rutin masih terus dipertahankan dengan kemasan istilah teknokratis.
Editorial Ini Menegaskan:
Persoalan ini tidak boleh berhenti sebagai polemik media. Negara memiliki instrumen pengawasan yang jelas. Inspektorat Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan DPRD setempat harus menjalankan fungsi konstitusionalnya secara terbuka dan berani. Audit dan klarifikasi bukan bentuk kriminalisasi, melainkan kewajiban dalam negara demokratis.
Lebih luas lagi, kasus ini adalah cermin nasional. Ia menunjukkan bahwa reformasi birokrasi belum sepenuhnya menyentuh nurani kekuasaan. Bahwa di tengah penderitaan rakyat, sebagian pejabat masih memprioritaskan kenyamanan prosedural ketimbang empati sosial.
- Negara yang kuat bukan hanya negara yang tertib administrasi, tetapi negara yang pejabatnya mampu menahan diri di saat rakyat menderita.
- Ketika rakyat diminta berhemat, pejabat seharusnya menjadi contoh pertama.
- Ketika rakyat berduka, pejabat seharusnya hadir dengan empati, bukan itinerary perjalanan.
Jika tidak, maka efisiensi hanyalah slogan, dan kekuasaan kehilangan makna moralnya.
( *krN/Red )
Komentar Anda :